Powered By Blogger

Minggu, 24 April 2011

Nasionalisme yang "Dekat"



Produk dari dari luar khususnya Cina masuk dengan derasnya ke pasar Indonesia. Mulai dari mainan, pakaian, elektronik sampai alat-alat rumah tangga.. Semuanya komplit, plit, plit dan tinggal pilih.. Ancaman bukan lagi mengintai, tapi sudah terjadi dan masih berlangsung. Banyak pelaku usaha yang memilih jadi pedagang dari pada ngga kuat "bertarung" harga dengan produk-produk sana karena atmosfir persaingan sudah ngga imbang lagi. Toh, keuntungan yang didapat ngga jauh beda dibanding memproduksi sendiri, dengan resiko yang kecil pula. Yang beda, pekerja-pekerjanya sekarang jadi hilang sumber penghidupan, daya beli pun jadi turun, bahkan kalau efeknya sudah berat pendidikan dan kualitas gizi anak-anak pekerja itu makin terancam. Nantinya, sepuluh dua puluh tahun mendatang bakal melimpah SDM-SDM yang berkualitas rendah. Bisa jadi mereka malah berhijrah jadi TKI-TKI ke Cina. Nah!? Berlebihankah?? Tidak juga, cuma berpikir realistis aja. Repotnya, pelaku usaha yang banting setir jadi reseller bukan satu dua, tapi banyak.. dihitung sendiri deh efek dominonya seperti apa. Kenapa aku bilang -seperti apa- karena bisa timbul masalah sosial, dst, dst yang sulit dikuantitatifkan.
Tunggu punya tunggu Pemerintah kayaknya makin sulit dijadikan sandaran mencari solusi akan hal ini. Kalau nunggu action benerannya mah bisa beberapa tahun lagi (?).. Tapi sebenarnya masyarakat seperti kita bisa berperan aktif ikut memberdayakan ekonomi saudara-saudara kita sendiri supaya mereka tetap punya jam kerja sehingga tetap punya daya beli, asalkan kita tetap care dan komit, caranya ngga sulit kok yaitu kita jaga loyalitas kita memakai dan mengkonsumsi produk-produk yang mereka buat. Kalau harganya lebih mahal ya.. memang iya, karena mesin-mesin produksinya aja kebanyakan masih import (beda dgn Cina yang mampu bikin mesin sendiri), belum lagi kalau selama proses produksi tingkat efisiensinya masih rendah. Produsen cq pelaku usaha harus jeli melihat ini sebagai bahan pembelajaran supaya produknya bisa lebih bersaing. Jadi intinya yang memproteksi ya kita-kita juga.. masyarakat sendiri. Mungkin ngga ya seperti ini?? Ya kenapa ngga?? Rakyat India aja bisa cinta mati sama produk-produk buatannya sendiri, sama lagu-lagunya, sama film-filmnya sampai sama produk otomotifnya. Walau pun berisik, ya dipake juga, dengan bangga lagi. Ngga jauh beda dengan ekspat-ekspat dari Jepang yang keluar negeri masih mau repot-repot bawa sabut cuci piring buatan para manula di sana. Alasannya kalau bukan dari mereka sendiri yang pada beli lalu siapa dong?? Wow.. sampai segitunya ya nasionalisme mereka... Demi saudara sebangsa gitu, lho... Coba yang seperti itu bisa menular ke sini, di Indonesia ini.. Ketika ini menjadi kesadaran dan aksi kolektif, maka impactnya akan lebih terasa. Berawal dari diri sendiri dan memulainya dari sekarang kelak akan lebih banyak lagi saudara-saudara kita yang tertolong nasibnya, terpelihara ketahanan ekonomi keluarganya dan terjamin pendidikan serta kesehatan anak-anaknya. Pada akhirnya, masa depan bangsa inilah yang terselamatkan dan terproteksi. Subhanallaah... membayangkan suatu saat terbukti gemah ripah loh jinawi-nya negeri ini. Ini bukan sekedar impian dan isapan jempol belaka. So, kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Saatnya menyudahi wacana dan retorika. Bismillaah... Semoga selalu terjaga niat dan langkah ini.

Tidak ada komentar: