Powered By Blogger

Senin, 20 Desember 2010

Lagi, introspeksi...

Perkuliahan pertama manajemen keuangan int’l menyisakan banyak pertanyaan sekaligus surprise dari seorang professor yang membawakannya. Saya sudah hafal, pada perkuliahan pertama diisi dengan eksplorasi para dosen tentang sejauh mana pemahaman kita akan mata kuliah tersebut dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Karena mulai membiasakan diri berpikir sedikit holistik (bukan bermaksud menyombongkan diri, hanya terinspirasi dari seorang dosen yang berpikir holistik), terkadang pertanyaan yang mudah-mudah saja kita berpikir keras mencari jawabannya, karena otak bergerak cepat memikirkan ekses-ekses yang mungkin timbul dari apa yang ditanyakan tadi. Padahal banyak menenggelamkan diri dengan membaca membuat kita merasa lebih luas dan lebih “berisi” dari sebelumnya. Tapi ketika pertanyaan mudah saja terlontar, kita sering terpaku.. ternyata jawabannya begitu saja ya. Simpel.
Kembali ke professor tadi, di luar topik mata kuliah, agaknya karena beliau sudah tahu mahasiswanya muslim semua, ia bertanya (mungkin pura-pura bertanya), “Apakah kalau ada seorang Amerika yang butuh bantuan, kita akan membantu?” Hmm.. saya agak malas menjawab, karena soal bantu-membantu tidak bisa ditawar-tawar lagi, sepanjang kita mampu, kenapa tidak? Sebagai misal, ketika kita melihat orang bule (let say, an American) yang sedang bersepeda kemudian jatuh dan butuh pertolongan, apa kita pilih diam saja? Tidak mungkin kan? Sebisa mungkin tentu kita bantu. Lalu kenapa sang professor menanyakan itu? Menurut saya agaknya beliau ingin punya parameter mengenai mahasiswanya (tentu dengan parameter versi beliau) terhadap apa yang nanti akan beliau sampaikan, yaitu hakikat dari manajemen keuangan int’l itu sendiri. Ujung-ujungnya mudah ditebak, “persahabatan” kita dengan dollar (USD) memang masih harus dipertahankan, lebih tepatnya sih dipelihara. Pernah lihat dan pegang uang USD atau belum, itu lain cerita.
Pertanyaan seperti itu ibarat hidangan pembuka sekaligus membuka mata bahwa semangat berIslam dalam segala aspek kehidupan termasuk beraktifitas ekonomi apalagi berskala makro tidak bisa dilepaskan dari ketergantungan kita (lagi lagi) terhadap USD.Sedemikian tingginya ketergantungan dunia dengan USD, membuatnya seperti primadona yang layak jadi rebutan dan hampir tidak ada negara di dunia ini yang tidak pakai USD sebagai devisa. Ngeri... Padahal hanya kertas lho!?
Nah, Indonesia yang nota bene negara berpenduduk muslim terbesar di dunia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Walau pun teriakan-teriakan anti Amerika kerap terdengar dari aktifis-aktifis di penjuru tanah air (walau akhir-akhir ini samar terdengar), tetap saja untuk transaksi ekspor-impor Indonesia pakai si primadona produknya AS itu (di dunia ini hampir tidak ada negara yang tidak melakukan kedua aktifitas itu). Sebagai contoh, negara-negara di jazirah Arab yang berlandaskan syariat Islam, ketika bertransaksi menjual minyaknya juga pakai USD/dollar AS. Terus bagaimana? Di satu sisi ada yang anti, tapi di sisi lain terpaksa harus menjadikan ia primadona. Ya seperti itulah, seberapa pun antinya kita terhadap kebijakan AS (terutama kebijakan luar negeri untuk kawasan timur tengah), kita tetap harus tunduk dalam cengkraman sistem mereka, karena amat sangat kuatnya sistem yang dibangun untuk mengendalikan dunia. Itu realita.
Terima kasih Prof sudah mengetuk hati mengintrospeksi diri saya dan teman-teman. Walhasil, benang merahnya adalah siapa yang bekerja keras dan bekerja cerdas maka dialah pemenangnya (dengan berat hati saya harus mengakui itu).
“Dan Allah tidak mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya.” (QS 13:11)
Maha benar Allah dengan segala firmanNya.